Harga Garam Tak Berpihak Pada Petani, Pemerintah Belum Tetapkan HPP

Petani Garam HPP
Petani garam sedang beraktivitas di lahan pegaraman miliknya. (Foto: RIF/MI)

maduraindepth.com – Harga garam rakyat tak selalu mujur. Terbukti, hingga kini belum ada kejelasan terkait harga pokok penjualan (HPP) yang ditetapkan oleh pemerintah.

Selama ini harga garam rakyat Madura, khususnya Kabupaten Sampang fluktuatif. Mirisnya lagi, harga garam terjun bebas karena masih bertumpu pada harga pasar. Bukan bertumpu pada HPP yang ditetapkan oleh pemerintah.

Hal tersebut diungkap oleh Kepala Bidang (Kabid) Perikanan dan Budi Daya Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sampang, Moh. Mahfud. Dia menyebut, karena HPP belum ditetapkan oleh pemerintah, sebagian petani garam enggan memproduksi garam.

“Namun kami tidak bisa memprediksi berapa persen petani garam yang tidak memproduksi garam, sebab saat ini masih awal permulaan panen raya di tahun 2020,” kata Mahfud kepada wartawan maduraindepth.com, Senin (19/6) kemarin.

Hal senada juga diungkapkan oleh Manager Area PT Garam Kabupaten Sampang, Ahmad Faisol. Menurutnya, selama ini pihaknya hanya bisa menyerap garam rakyat sesuai dengan harga pasar.

Kata Faisol, hal itu dilakukan karena pemerintah hingga tahun 2020 belum menetapkan HPP garam rakyat. Dia beralasan, agar garam rakyat bisa terserap dan bisa dimasukkan dalam sembilan bahan pokok, maka pemerintah bisa segera mengambil langkah.

Seperti dengan cara menurunkan standarisasi kandungan NaCl garam rakyat. Menurut Faisol, dengan cara ini garam rakyat bisa masuk dalam sektor industri.

Baca juga:  TPQ Al-Muawanah Sukses Gelar Khotmil Qur'an Metode Qiroati ke 15

“Sehingga dengan ini garam rakyat bisa masuk di garam industri,” kata Faisol.

Menurutnya, panen raya tahun ini PT Garam menarget 90 ribu ton garam rakyat. Faisol mengklaim, saat ini pihaknya sudah panen sekitar dua persen atau sekitar200 ton.

“Semoga cuaca mendukung, sehingga garam ini bisa dijadikan sebagai stok persiapan dengan hitungan lima tahunan 2021 dan 2022 kemarau basah sehingga mungkin harga bisa mahal agar rakyat bisa berkembang lagi sebagai petani garam yang lebih baik,” tukasnya.

Soal stok garam di gudang PT Garam, pria asal Kabupaten Sumenep tersebut mengatakan masih tersisa 30 ribu ton. “Kemungkinan kita target bulan 8 atau 9 ini bisa habis semua,” ucapnya.

Meski harga tak berpihak pada rakyat, Faisol berharap para petani tetap melakukan produksi garam. Menurutnya, anjloknya harga garam tidak hanya menimpa para petani, tapi juga berdampak pada PT Garam sendiri.

“Maka dari itu kami mengajak para petani garam agar melakukan pendewasaan diri,” kata Faisol.

Harga Anjlok, Petani Tak Memproduksi Garam

Anjloknya harga garam berdampak pada nasib petani di Pulau Madura, Jawa Timur. Ketua Forum Petani Garam Madura (FPGM), Moh. Yanto menyebut, di Kabupaten Sampang ada sekitar 80 persen petani garam enggan memproduksi.

Hal itu disebabkan lantaran harga garam anjlok dan membuat petani garam di Kabupaten Sampang rugi. Sehingga meski tahun ini memasuki musim panen raya, para petani tidak bisa bernafas lega. Pasalnya para petani harus menghabiskan stok garam tahun 2019 yang saat ini masih tersisa 400 ribu ton.

Baca juga:  Cara Nawahi Kabur dari Penjara Sampang Terungkap

Yanto mengungkapkan, harga garam rakyat berada di angka penjualan Rp 10 ribu per karung dan Rp 350 ribu per ton. Harga tersebut jauh panggang dari api alias tidak sebanding dengan biaya produksi.

Yanto menjelaskan, dengan harga tersebut para petani garam di Kabupaten Sampang banyak mengeluh. Karena dalam produksi garam, para petani harus mengeluarkan biaya kuli angkut, biaya kuli pemecah dan biaya kuli penyedong garam.

“Lagi pula stok garam hasil produksi di tahun 2019 masih banyak yang tidak terserap, dengan kata lain tidak dibeli oleh pabrik,” ungkapnya.

Dikatakannya, pihaknya yang tergabung dalam FPGM sudah berkali-kali mempertanyakan terkait kebutuhan impor garam regional. Namun sampai saat ini masih belum ada kejelasan.

“Misalnya di Jawa Timur, berapa sih kebutuhan impor garam industri, karena menurut undang-undang impor garam itu untuk industri bukan untuk konsumsi,” jelasnya.

Yanto menegaskan, anjloknya harga garam bukan karena dampak pandemi Covid-19. Akan tetapi murni karena minimnya harga garam yang tidak sebanding dengan biaya produksi.

Baca Juga : Harga Garam Semakin Asin, 2.106 Petani Menjerit

Sementara ranah garam konsumsi yang diproduksi oleh rakyat telah diambil alih oleh garam impor. “Jadi garam industri masuk di garam konsumsi, itulah yang menjadikan garam rakyat tidak terserap, dan hal itu menjadi penyebab anjloknya harga garam rakyat,” tutur Yanto.

Baca juga:  Penyaluran PKH Tersendat, Ribuan KPM Tak Bisa Cairkan Bansos

Menurutnya, hal itu tidak hanya terjadi di Pulau Madura saja. Akan tetapi juga terjadi di daerah-daerah lainnya seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera dan Kalimantan.

“Itulah yang membuat harga garam lokal tidak laku, karena telah diambil alih oleh garam impor,” terangnya.

Terpisah, warga Kelurahan Polagan, Kecamatan Kota, Kabupaten Sampang Abd. Wahed mengaku terdampak anjloknya harga garam. Pasalnya, selama petani enggan memproduksi garam, pria yang bekerja sebagai kuli angkut tersebut kesulitan mendapat muatan dan berpengaruh terhadap penghasilannya.

Padahal, kata dia, saat ini sudah memasuki musim panen raya. “Saat ini kuli angkut hanya menghasilkan Rp 5 rb hingga Rp 10 ribu perhari, biasanya kalau panen raya bisa menghasilkan Rp 300 ribu sampai Rp 500 ribu perhari,” ujarnya.

Wahed berharap, Pemerintah bisa segera mengambil langkah tegas terkait anjloknya harga garam. Sehingga hasil produksi garam bisa mensejahterakan petani garam.

“Semoga pemerintah segera mengambil langkah tegas terhadap situasi garam saat ini,” harapnya. (RIF/MH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *