Opini  

27 Step of May: Reaksi Panjang Terhadap Luka

27 Step of May
Istimewa
Oleh: Umarul Faruk*

maduraindepth.com – Beberapa hari lalu, di tengah berlangsungnya musyawarah salah satu organisasi mahasiswa se Indonesia, saya mendapat kabar, seorang perempuan menangis di kamar penginapan yang disediakan oleh panitia sebab menjadi korban cat calling, body sheming. Komentar negatif yang mengerah pada tubuhnya dibuat candaan oleh teman-temanya saat itu. Sehingga membuat kepercayaan pada dirinya runtuh di hadapan mereka.

Di lain waktu, saya mendapat kabar, seorang putra kyai di Jombang didemo sebab tidak kunjung diproses hukum atas dugaan tindakan pencabulan terhadap santriwatinya. Kasus serupa juga terjadi di Sumenep, seorang kyai dijemput paksa oleh aparat hukum sebab terbukti mencabuli anak didiknya yang masih dibawah umur, bahkan lebih dari 30 kali.

banner auto

Fenomena serupa masih kerapkali terjadi di berbagai daerah di Indonesia dan di seluruh dunia pada umumnya. Bahkan pada tahun 2019 Komnas Perempuan mencatatat sebanyak 431. 471 kasus yang terjadi. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari angka kekerasan pada perempuan di tahun-tahun sebelumnya.

Sebab itu, Saya fikir masih relevan dampak pelecehan terhadap perempuan atau pelecehan seksual terhadap kaum perempuan terus didengungkan, bahkan dilawan. Dengan cara apapun dan oleh siapapun. Setidaknya menjadi upaya untuk meminimalisir kejadian serupa terulang kembali demi kesenangan sesaat para pelaku. Seperti yang dilakukan Ravi Bharwani dengan Rayya Makarim, Wilza Lubis dalam film 27 Step of May. Mereka menyuarakan kesedihan, trauma, depresi berkepanjangan yang dialami korban pelecehan seksual melalui krekter May (Raihaanun).

Baca juga:  Indonesia Diantara Rechstaat dan Machtaat

Malam itu, kesenangan terpancar dari wajah May. dikala berkeliling, bersenang-senang menikmati berbagai hiburan di pasar malam. Malam semakin larut, menuju arah pulang, May ditarik paksa oleh tangan pria tidak dikenal ketika melewati gang kecil menuju rumahnya. Ia disergap di sebuah gudang. Perlawanan terus digencarkan tetapi tidak berarti menyelamatkan dirinya dari tindakan hewani para pelaku.

May pulang dengan seragam sekolah yang robek di beberapa bagian. Boneka dan balon yang didapat dari pasar malam tidak lagi digenggamnya. Tatapan kosong dan kesadaran untuk merespon sapaan sosok seorang ayah yang melihat dirinya datang kala itu ditelan kesedihan akibat pelecehan seksual yang baru saja menimpa dirinya.

Sejak disiksa dan diperkosa oleh sekelompok lelaki tidak dikenal waktu itu, May yang masih berusia 14 tahun harus kehilangan keceriaan masa remajanya. Depresi, trauma, dan perasaan takut sepenuhnya menjauhkan dirinya dari kehidupan sosial. Ditambah ia harus kehilangan emosi, atau menjalani hidup tanpa kata-kata.

Keseharian May dihabiskan di dalam rumah, dengan pola hidup yang tidak berbeda setiap harinya; tanpa berkomunikasi dengan siapapun, membuat boneka, berolahraga, dan terkungkung dalam perasaan takut bila harus menjalani hidup di luar rumah. Suatu waktu, ia histeris akibat dipaksa keluar rumah oleh ayahnya ketika ada yang kebakaran di bagian rumah yang ia tempati.

Baca juga:  Manajemen Keuangan Sekolah Merdeka

Sebagai orang tua, ayah May (Lukman Sardi) merasa gagal menjalankan tanggung jawab untuk melindungi anaknya. Ia dihantui rasa bersalah atas kajadian penyebab trauma dan depresi yang mengakibatkan anaknya menjalani hidup tanpa kata-kata, tanpa komunikasi, tanpa keluar rumah, dan tanpa interaksi sosial selama 8 tahun.

Memikirkan nasib anaknya, emosi Ayah May seringkali memuncak, berulangkali ia salurkan di atas ring tinju amatir. Dihadapan ratusan penonton kerapkali ayah May tidak kuasa mengontrol emosi dalam menghadapi lawannya. Semakin ia frustasi, pukulannya semakin membabi buta, hingga berkali-kali mendapat kritikan karena tindakan berlebihan terhadap musuhnya di dalam ring tinju.

Hingga suatu hari, lambat laun kehidupan May mulai berubah, keberanian melawan trauma dan ingatan buruk yang mengganggunya mulai terkumpul. Hal ini bermula dari lubang kecil di dinding kamar yang membawa pandangannya ke arah tempat pesulap (Rio) yang sedang beraksi di sebuah gudang disamping kamar May. Sadar dengan keberadaan May, pesulap itu semakin menggencarkan beragam aksinya, sehingga menjadi sebab tumbuhnya rasa penasaran yang kuat sehingga mendorong May semakin berani meninggalkan rasa takutnya.

Aksi itu dilakukan berulangkali, sampai ketakutan yang terpancar dari wajah May sirna, tingkahnya yang kaku mencair, trauma yang mengurung dirinya di dalam rumah pudar. Pagi itu, ia bersikap sebagaimana perempuan pada umumnya, berhias di depan kaca lalu melangkahkan kaki keluar kamar, kemudian memeluk ayahnya yang terkesima melihat perubahan pada penampilan anak perempuannya seraya berucap, “ini bukan salah ayah.”

Baca juga:  Mencegah dan Menghilangkan Bullying di Sekolah

Film yang dibintangi Raihaanun (May) itu berhasil menyuarakan luka, atau trauma, depresi yang dialami para perempuan, yang juga dalam kehidupan nyata dialami oleh Nisa, adik tingkat saya di kampus. Parasnya yang cantik tidak jarang menjadi buah bibir dan menyedot para lelaki untuk melamarnya atau hanya sekedar menjadikannya pacar. Namun setiap kali ada lelaki yang berniat memilikinya selalu mendapat penolakan.

Diantara lelaki yang ditolak, merasa dipermalukan dan tidak terima, sehingga melakukan tindakan yang membuat Nisa menanggung malu. Tidak cukup di situ, budaya patriarki yang terbangun pada masyarakat membuat dirinya mendapatkan justifikasi sebagai perempuan yang tidak normal. Perlakuan masyarakat yang terbangun dari sistem patriarki membuat dirinya merasa dimarjinalkan di lingkungan sosial, sehingga ia hampir menarik seluruh kehidupanya dari keramaian atau memutus koneksi sosial dalam kurun waktu yang relatif lama.

Sebagian kasus dari miliaran pelecehan seksual ini membuat korban kehilangan sebagian kesenangan dalam menjalani hidup. Sederhananya, bagi pelaku tindakan “swett, swett” atau buah bibir “dada besar” atau tindakan pelecehan seksual lainya hanya sekedar candaan, kekakuan iseng, pemuas birahi sesaat. Tapi tidak bagi korban. Untuk itu, bijaklah dalam mencari kebahagiaan, kisanak!. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner auto