maduraindepth.com – Aliansi Mahasiswa Sampang (AMS) mendemo kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sampang, Rabu (31/8) lalu. Mereka menuding legislatif tidak bisa mengontrol keputusan bupati soal pemilihan kepala desa (Pilkades) yang ditunda hingga tahun 2025.
Dalam demo itu, sedikitnya ada 30 massa yang mendatangi halaman depan kantor DPRD Sampang. Berbagai poster bernada kritikan dibentangkan selama demonstrasi berlangsung.
Koordinator lapangan (Korlap) Moh. Iswanto mengatakan, ihwal keputusan penundaan pelaksanaan Pilkades seharusnya DPRD Sampang menggunakan hak dan kewenangannya. Namun nyatanya, para wakil rakyat itu tidak melakukan pemanggilan dan mempertanyakan keputusan itu kepada bupati.
Sebab itu, mereka menganggap legislatif tidak bisa mengontrol keputusan pemerintah daerah yang dinilai mengebiri nilai demokrasi di Kabupaten Sampang. Mereka menuntut agar DPRD Sampang melakukan perubahan dan penyesuaian secara hirarki sesuai ketentuan perundang-undangan.
Menurut demonstran, keputusan yang diambil bupati Sampang tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 72 Tahun 2020.
“Seharusnya DPRD menggunakan hak dan fungsi secara kelembagaan terkait Surat Keputusan (SK) Bupati nomor 188.45/272/KEP/434.017/2021, tentang pelaksanaan pemilihan kepala desa serentak 2025,” ujarnya.
Tanggapan Wakil Rakyat Saat Temui AMS
Massa demo AMS ditemui pimpinan DPRD Sampang. Diantaranya Ketua DPRD Sampang Fadol didampingi Wakil Ketua DPRD Fauzan Adima, Ketua Komisi I Nasafi dan Wakilnya Ubaidillah.
Saat menemui massa, Fauzan Adima menyampaikan bahwa pihaknya di parlemen mengapresiasi semua aspirasi yang disampaikan mahasiswa. Menurutnya, fungsi kontrol terhadap eksekutif tidak hanya dilakukan oleh legislatif, seluruh elemen masyarakat juga bisa melakukan kontrol.
“Fungsi kontrol tidak hanya oleh Legislatif namun juga bisa dilakukan seluruh elemen masyarakat, tetapi harus sesuai dengan rel yang ada,” kata Fauzan Adima di hadapan puluhan massa.
Dia menjelaskan, jika produk hukum yang diterapkan berupa peraturan daerah (Perda), maka pembahasan dilakukan oleh eksekutif dan legislatif. Tapi jika produk hukumnya berupa peraturan bupati (Perbup), maka itu merupakan ranahnya bupati.
Kata Fauzan, selama ini DPRD menilai belum ada kebijakan yang dilanggar eksekutif dalam konteks regulasi yang ada. “Jika ada yang dirasa janggal dipersilahkan melalui jalur yang tersedia,” ucapnya.
Sementara Ubaidillah lebih banyak memaparkan proses konsultasi yang dilakukan pemerintah daerah kepada pemerintah provinsi hinga Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Dia bilang, melalui konsultasi itu melahirkan keputusan bupati soal penundaan Pilkades hingga tahun 2025.
Sementara Fadol hanya meminta Korlap untuk meninggalkan nomor telepon. Dia berjanji akan menghubungi AMS jika tuntutan yang disampaikan sudah dibahas di meja legislatif.
“Tolong minta nama dan nomor yang bisa dihubungi, kami tidak bisa lama-lama karena akan kami bahas nanti,” pungkasnya. (Alim/MH)