maduraindepth.com – Sejarah desa di Indonesia tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu terkait erat dengan dinamika politik kerajaan, kolonialisme, hingga negara modern.
Namun sayangnya, sejarah desa sering dipinggirkan dari arus utama penulisan sejarah nasional. Seperti yang diingatkan oleh sejarawan Kuntowijoyo, desa jarang mendapatkan ruang proporsional dalam historiografi Indonesia. Padahal, desa adalah fondasi utama kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya bangsa.
Di Sampang, Madura, jejak sejarah tata kelola desa sesungguhnya sangat kaya. Dari era Majapahit hingga kolonial Belanda, dari pengaruh Mataram hingga pendudukan Jepang, struktur pemerintahan di wilayah ini terus mengalami perubahan.
Salah satu yang menarik adalah munculnya figur Pasedahan di Desa Banyuanyar dengan tokoh sentralnya, Wongso Sastro. Julukan ini tidak sekadar nama, melainkan representasi dari sistem ekonomi-politik desa yang unik, berbeda dengan sebutan kamituwo atau klebun yang lazim digunakan di Jawa dan Madura.
Tulisan ini berupaya mengurai dinamika sejarah tata kelola desa di Sampang dengan menjadikan Pasedahan Wongso Sastro sebagai pintu masuk untuk memahami kekhasan lokal yang sarat makna historis.
Kerangka Historis Tata Kelola Desa di Sampang
Dalam Babad Sejarah Sampang tercatat bahwa sistem pemerintahan lokal sudah dikenal sejak masa Majapahit. Tahun 1478 Masehi, muncul figur Ario Lembu Petteng yang bergelar patih dan memimpin sebuah kepatihan di Madegan. Dari tokoh inilah garis keturunan raja-raja Sampang hingga Madura bermula.
Sejak abad ke-14, struktur pemerintahan di Sampang mengalami transformasi signifikan. Dari kerajaan lokal dengan Adipati Pramono sebagai raja, hingga integrasi ke dalam Kerajaan Mataram tahun 1624 melalui pengangkatan Raden Praseno (Pangeran Cakraningrat I) sebagai Raja Madura.
Abad ke-18 menandai perubahan drastis ketika Belanda menghapus sistem kerajaan dan menggantinya dengan struktur kabupaten. Masa pendudukan Jepang (1942–1945) sempat mengubah status Sampang menjadi kawedanan, sebelum kembali menjadi kabupaten pada 1948.
Perubahan besar ini menunjukkan bahwa tata kelola pemerintahan selalu menyesuaikan dengan dinamika politik. Namun yang menarik, pada level desa, struktur tradisional tetap bertahan, meski dalam bentuk yang terus bertransformasi.
Boenadi Brahmantyo (2005) dalam buku Sejarah Kabupaten Sampang, Perkembangan Sistem Pemerintahan Daerah menyebut bahwa sebelum struktur kerajaan mapan, masyarakat Madura telah mengenal sistem pedukuhan. Pemimpin padukuhan berperan ganda: pemimpin spiritual sekaligus figur paternal bagi komunitas.
Ketika kerajaan terbentuk, pemerintahan padukuhan digeser menjadi menjadi pemerintahan desa. Kepala desa atau Lurah yang dalam bahasa Madura disebut Klebun, diangkat langsung oleh kerajaan.
Klebun bertugas menjalankan administrasi, mengatur pajak, dan mengurus aset kerajaan. Namun, sistem kepemimpinan tidak hilang sepenuhnya. Ia tetap dihormati sebagai pemimpin kultural, sehingga di sebagian desa lahirlah dualisme kepemimpinan: formal-birokratis di satu sisi, dan kultural-spiritual di sisi lain.
Wongso Sastro dan Julukan Pasedahan Dalam konteks inilah muncul figur Wongso Sastro di Banyuanyar Sampang. Dokumen surat menyurat desa di tahun 1928 dan buku catatan kepemilikan tanah desa memperlihatkan bahwa masyarakat setempat tidak saja menyebutnya sebagai klebun, taoi juga Pasedahan. Julukan ini bukan hanya terminologi linguistik, melainkan penanda adanya struktur sosial-ekonomi yang khas.
Wongso Sastro memimpin desa Banyunanyar hampir 50 tahun sebelum digantikan putranya, Mohammad Saleh Wongsotruno sampai pada tahun 1970-an karena berganti status menjadi kelurahan. Panjangnya masa kepemimpinan menunjukkan legitimasi sosial yang kuat.
Masyarakat Banyuanyar tidak hanya mengakui kapasitas formalnya, tetapi juga menempatkan dirinya dalam posisi simbolis sebagai pemimpin kultural. Bahkan dalam tradisi lisan masyarakat Banyuanyar, Pasedahan Wongso Sastro digambarkan memiliki kekeramatan dan kedigdayaan, memperkuat otoritasnya di mata masyarakat.
Istilah pasedahan sendiri dapat ditelusuri dari dua sumber utama. Pertama, dalam tradisi Bali, pasedahan terkait erat dengan urusan pendapatan daerah. Lembaga Pasedahan Agung hingga kini masih dikenal sebagai badan pengelola pendapatan.
Kedua, Raden Toemenggoeng Ario Nitieadiningrat (1914) dalam tulisannya, pasedahan berasal dari Jawa Kromo yang berarti “tempat pemanggilan” atau “dipun aturi”. Dalam politik lama, pasedahan berhubungan dengan tugas mengumpulkan pajak, hasil bumi, atau pendapatan rakyat.
Kedua sumber tersebut memiliki benang merah: pasedahan erat kaitannya dengan urusan ekonomi dan pengelolaan hasil bumi. Jika dikaitkan dengan Wongso Sastro, maka Pasedahan di Banyuanyar berfungsi bukan hanya sebagai pemimpin administratif, melainkan juga pengelola sumber daya desa. Dengan demikian, julukan itu tidak semata-mata simbolis, melainkan menandai peran sentralnya dalam struktur ekonomi pedesaan.
Dua Wajah Sistem Desa di Madura
Zainal Fatah, seorang sejarawan asal Madura, menulis dalam bukunya Sedjarah Tjaranja Pemerintahan di daerah-daerah di Kepulauan Madura dengan Hubungannja (1951) bahwa tata kelola pemerintahan desa di Madura pada masa lalu sesungguhnya memiliki dua wajah utama. Pertama, sistem pemerintahan desa yang dijalankan oleh seorang klebun. Dalam sistem ini, klebun bukanlah pemimpin otonom, melainkan pejabat bawahan yang diangkat langsung oleh kerajaan.
Ia bertugas menyelenggarakan administrasi dan mengorganisasi kehidupan desa, tetapi perannya tidak berhenti di situ. Seorang klebun juga mengurusi kepentingan keluarga kerajaan: mengelola aset tanah, mengawasi hadiah-hadiah berupa tanah, memastikan pungutan pajak tersalurkan, bahkan melayani kepentingan pribadi raja. Dengan kata lain, posisi klebun merupakan perpanjangan tangan birokrasi kerajaan hingga ke lapisan desa.
Dalam sistem ini, muncul tiga jenis desa: Desa Daleman, Desa Pecaton, dan Desa Perdikan. Dari ketiganya, Desa Perdikan memiliki keistimewaan tersendiri meskipun dipimpin oleh klebun yang ditunjuk kerajaan, desa perdikan dianugerahi hak otonomi yang membuatnya menyerupai sebuah “negara kecil”.
Status istimewa itu biasanya ditetapkan dalam bentuk piagam kerajaan, yang mengatur apakah pemilik tanah perdikan dibebaskan dari kewajiban pajak atau cukup menyerahkan upeti simbolis kepada raja. Karena itu, desa perdikan kerap dianggap sebagai representasi desa bebas pajak atau semi-merdeka, walaupun masih berada dalam orbit kekuasaan kerajaan. Sejumlah contoh desa perdikan masih dapat ditelusuri di Sampang , seperti Desa Napo dan Desa Jarangoan.
Sementara itu, bentuk kedua dari tata kelola desa di Madura adalah sistem pemerintahan desa biasa atau padukuhan. Di sini, yang memimpin secara administartif juga disebut klebun, namun bedanya tidak diangkat oleh kerajaan. Klebun di sistem padukuhan ini berasal dari garis keturunan pendiri pedukuhan. Ia dihormati bukan karena legitimasi birokrasi, melainkan karena warisan historis dan kultural yang melekat pada dirinya.
Jadi, Ia tidak memiliki hubungan struktural dengan kerajaan. Ia bukan bawahan birokrasi kerajaan, melainkan pemimpin komunitas lokal yang otoritasnya berakar dari penghormatan masyarakat dan tradisi leluhur Perannya sangat luas, Ia tidak hanya menjadi pemimpin spiritual sekaligus simbol tradisi pedukuhan, tetapi juga masih terlibat aktif dalam urusan ekonomi masyarakat.
Misalnya, memimpin pemungutan pajak atas hasil tanah pertanian yang dimiliki secara pribadi oleh warga, tanah yang umumnya diwariskan secara turun-temurun sejak pendiri pedukuhan pertama. Pajak yang terkumpul kemudian diserahkan kepada pejabat gedong negeri—sebuah jabatan di lingkungan kerajaan yang dikelola oleh seorang wedana gedong.
Lembaga ini berfungsi mengurusi perbendaharaan, perbekalan, dan pemasukan kerajaan, termasuk pajak, tanah pecaton (tanah lungguh), serta kewajiban lain yang berkaitan dengan kebutuhan kerajaan.
Posisi ini menjadikan klebun di sistem padukuhan sebagai figur unik: di satu sisi ia tetap menghormati kerajaan dengan menyerahkan pungutan pajak melalui gedong negeri, namun di sisi lain ia memiliki otonomi sosial yang kuat karena tidak terikat secara langsung dalam struktur kekuasaan formal kerajaan.
Berdasarkan bacaan di atas, Desa Banyuanyar di masa lalu tampaknya lebih dekat dengan sistem kedua. Julukan pasedahan yang disematkan pada Wongso Sastro merepresentasikan perpaduan: ia bukan pejabat birokrasi murni, bukan pemimpin yang jadi bawahan kerjaan, melainkan pemimpin desa yang lahir dari leluhur dan masyarakat desa sekaligus sebagi pengelola ekonomi, spiritual, serta budaya.
Penutup
Sejarah tata kelola desa di Sampang memperlihatkan betapa kompleks dan dinamisnya struktur pemerintahan lokal. Dari buyut, lurah, hingga pasedahan, setiap fase menandai bentuk relasi kekuasaan yang khas antara negara, kerajaan, dan masyarakat. Figur Wongso Sastro di Banyuanyar adalah bukti nyata bahwa desa bukan entitas statis, melainkan ruang dialektika antara tradisi, ekonomi, dan spiritualitas.
Mengingat Wongso Sastro berarti mengingat akar kearifan lokal yang sering diabaikan dalam narasi besar sejarah. Lebih dari itu, kisah ini adalah cermin bagi masa depan: bahwa keberhasilan tata kelola desa tidak hanya ditentukan oleh birokrasi, tetapi juga oleh kemampuan pemimpin desa untuk mengakar pada legitimasi kultural dan solidaritas sosial. (*)









