banner 728x90

Festival Ghei Bintang 2025 “Menyala” dari Uniba

UNIBA
Festival konser budaya di Uniba berlangsung meriah. (Foto: Arif Coolbreak/MID)

maduraindepth.com – Lapangan Basket Universitas Bahaudin Mudhary (Uniba) Madura berubah menjadi pusat perayaan budaya pada Jumat (11/7) malam. Ribuan pengunjung, dari mahasiswa hingga masyarakat umum, tumpah ruah dalam Festival Konser Budaya “Ghei Bintang” yang digelar dengan penuh semangat dan makna.

Acara ini turut dihadiri tokoh-tokoh penting seperti budayawan D. Zawawi Imron, empu keris Ika Arista, Kepala Disbudporapar Sumenep, perwakilan Kapolres, serta jajaran rektorat Uniba. Mereka hadir untuk satu tujuan, yakni menyalakan kembali semangat budaya Madura.

Ketua Panitia, Moh Iskil El Fatih, menyampaikan, festival ini lebih dari sekadar seremoni. Ia mengatakan, pihaknya tidak sekadar membuat acara, tapi sedang mendoakan masa depan Madura.

“Lewat panggung ini, kami memberi ruang untuk suara-suara budaya yang mulai terlupakan,” ujar Iskil.

Mengusung tema “Ghei Bintang” (bahasa Madura: memberi cahaya), festival ini lahir dari kegelisahan generasi muda terhadap krisis identitas dan minimnya ruang ekspresi budaya lokal.

“Kami sadar panggung ini sederhana, tapi niat kami besar. Kami ingin membangkitkan kesadaran, menyatukan generasi, dan membangga-banggakan budaya sendiri,” lanjutnya.

Ghei Bintang Uniba
Ketua Panitia, Moh Iskil El Fatih. (Foto: Arif Coolbreak/MID)

Acara tidak hanya menampilkan musik dan tari tradisional, tapi juga bazaar UMKM, pameran keris, batik, serta pertunjukan seni dari komunitas lokal. Semua diorganisir penuh dedikasi oleh mahasiswa Uniba.

“Kami memang tidak dibayar, tapi kami dibayar dengan makna,” tutur Iskil.

Baca juga:  Asah Bakat Anak Muda di Bidang Tarik Suara, Disbudporapar Sumenep Gelar Madura Pop Talent 2025

“Setiap tawa penonton, kekaguman anak kecil saat melihat keris, hingga tepuk tangan untuk musik Tong Tong, semuanya membuat perjuangan ini layak,” imbuhnya.

Di tengah derasnya arus digital dan modernisasi, Festival Ghei Bintang menjadi bentuk perlawanan yang lembut, yakni melawan lupa, malu menjadi orang Madura, dan inferioritas sebagai daerah.

“Kami percaya, dari sudut kecil di Sumenep ini, cahaya bisa dinyalakan. Jika terus dijaga, suatu hari ia akan bersinar seperti bintang,” tutup Iskil. (*/MH)

banner 728x90

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *