maduraindepth.com — Manusia pada hakikatnya merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Sejak lahir hingga dewasa, manusia selalu bergantung pada orang lain melalui interaksi sosial yang membentuk kehidupan bermasyarakat.
Hal tersebut disampaikan Hamida Aprilia, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang, yang menekankan bahwa manusia dan masyarakat merupakan dua unsur yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Menurutnya, manusia hanya dapat tumbuh dan berkembang melalui hubungan sosial dengan lingkungannya.
Dalam kajian sosiologi, manusia dipahami sebagai bagian dari sistem sosial yang saling bergantung. Teori struktural fungsionalisme menjelaskan bahwa setiap unsur dalam masyarakat memiliki fungsi masing-masing untuk menjaga keseimbangan sosial.
Keluarga, sekolah, sistem ekonomi, hingga pemerintah berperan layaknya satu kesatuan. Jika salah satu unsur tidak berfungsi dengan baik, maka akan muncul gangguan dalam kehidupan sosial masyarakat.
Selain itu, identitas manusia juga terbentuk melalui interaksi sosial. Teori interaksionisme simbolik yang dikemukakan George Herbert Mead menjelaskan bahwa bahasa, simbol, dan gestur menjadi sarana utama pembentukan makna dalam kehidupan sehari-hari.
Lingkungan sosial yang positif dapat membentuk rasa percaya diri dan kepribadian yang sehat. Sebaliknya, lingkungan yang penuh tekanan berpotensi memengaruhi perkembangan kepribadian seseorang secara negatif.
Dalam konteks Indonesia, nilai gotong royong menjadi identitas sosial yang menonjol. Budaya tersebut mencerminkan kesadaran kolektif bahwa kebersamaan dan solidaritas merupakan kekuatan utama dalam kehidupan bermasyarakat.
Namun, di era modern, nilai gotong royong mulai mengalami pergeseran akibat gaya hidup individualis. Meski demikian, semangat kebersamaan masih terlihat dalam bentuk baru, seperti donasi daring dan solidaritas sosial saat terjadi bencana.
Perkembangan teknologi digital turut mengubah pola interaksi sosial. Media sosial mempermudah komunikasi, tetapi juga menghadirkan tantangan baru, seperti penyebaran hoaks, cyberbullying, serta munculnya rasa kesepian sosial.
Banyak individu terlihat terhubung secara digital, namun merasa terasing dalam kehidupan nyata. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat dalam menjaga kualitas hubungan sosial.
Di sisi lain, konflik dalam masyarakat dianggap sebagai hal yang tidak terhindarkan. Perbedaan kepentingan, nilai, dan pandangan sering memicu pertentangan. Meski demikian, konflik tidak selalu berdampak negatif, karena dapat menjadi pendorong terjadinya perubahan sosial.
Untuk menghadapi perubahan budaya dan teknologi, adaptasi sosial menjadi kunci agar masyarakat tetap mampu bertahan dan berkembang.
Hamida menegaskan bahwa manusia dan masyarakat saling membentuk satu sama lain. Melalui interaksi sosial, nilai budaya, dan proses sosialisasi, kehidupan bermasyarakat dapat berjalan secara harmonis di tengah dinamika zaman. (*/Aj)












