Episentrum, Petaka Dalam Ironi Keadilan

Resonansi
Mas@be Zain
Oleh : Mas@be Zain

maduraindepth.com – Sebuah negeri yang memiliki banyak aturan dan perundangan, menjadi indikasi bahwa di negeri itu terjadi banyak pelanggaran. Pada negeri yang menjadikan politik sebagai panglima, menjadi tanda bahwa hukum dibuat berdasarkan kepentingan, bukan berpijak terhadap keadilan universal. Maka, pasal maupun ayat yang dihadirkan, lebih banyak disandarkan pada kompromi para pihak untuk kepentingan yang berkompromi dalam satu koloni bisnis dan ekonomi.

Mengamati perjalanan republik justisia di negeri Konoha, hukum telah menjadi barang yang seolah-olah sengaja diperjualbelikan di bursa efek. Siapa yang berani beli dengan harga tinggi, ia berpotensi mendapatkan dispensasi. Sementara yang tidak sanggup melakukan transaksi, ia hanya cukup untuk mendapatkan dispenser dengan daya tekan yang mengalirkan air panas saja. Sehingga, teori trias politika yang pernah disampaikan Montisque berubah menjadi trias corruptica yang berujung pada ajang pemangsa, homo homini lupus, di mana hukum rimba berlaku di situ. Maka, semesta Konoha dari semula sebagai sebuah negara, berubah menjadi belantara.

Pengamat politik Salim Said menilai, tidak langgengnya sebuah negara sebangun dengan lemahnya penerapan supremasi dan pro justisi. Penduduk Konoha tidak lagi memiliki ketakutan terhadap apapun karena yang dikhawatirkan hanya bagaimana kalau tidak bisa membeli keadilan yang ditaksir dengan banyak-sedikitnya materi. Lebih dari itu, penduduk Konoha dikabarkan tidak takut terhadap Tuhan. Di sinilah problem dasar dimana para penegak hukum lunglai dan gagal berdiri tegak lurus pada galah yuridis. Yang terjadi, hanya akal-akalan bergantung seberapa tebal saweran yang diterima dari pialang.

Konoha sebagai sebuah negeri, gagal di sana sini karena domain justiisia begitu keadaannya, mati suri. Tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Semua mengetahui hal ini dan semua juga dengan bangga membiarkan ini. Perselingkuhan para pihak dalam perkara justisi, menjadi catatan tersendiri dan oleh karena itu, sebagian warga lebih memilih mengadukan masalah kepada perorangan yang memiliki kapasitas dibanding mengadukan perkara dimaksud kepada pihak yang berwenang. Di lapis bawah, public memahami bahwa apabila melaporkan seekor sapi yang dicuri maling kepada pihak yang berwajib, warga harus siap kehilangan seekor sapi yang berada di kandang yang lain. Ini ironi, tetapi berkali-kali hal ini terjadi, di negeri ini, di Konoha, negara api.

Bahwa kejahatan tidak bisa dimusnahkan dari bumi Konoha, semua pihak bisa memahami. Sebab, usia kejahatan, sama panjangnya dengar umur kebajikan. Namun sebagai yang bajik dan radik, Konoha butuh komitmen agar terseoknya keadilan terus dikuatkan, supaya trust public bisa pulih terhadap keadilan yang dilembagakan. Memang, cita-cita majelis dalam memutus perkara terlalu ideal dengan bersandar kepada keyakinan subyektif terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dari perspeltif semantik dan psikolinguistik, majelis ini ingin sembunyi di belakang Tuhan, walaupun amar putusannya dibuat berdasarkan pesanan.

Tetapi dalam vonis, tetap disebutkan bahwa berdasarkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan fakta hukum yang berkembang di dalam persidangan, majelis mengadili terdakwa sebagai yang keliru atau sama sekali tidak melakukan kesalahan secara sah dan meyakinkan (menurut subyektifikasi majelis). Saat keadaban yuridis ini seok dan tergopoh secara terus-menerus, Konoha tak bisa diharapkan kebangkitannya, bahkan terpuruk atau tersungkur hingga ke titik nadir. Sementara posisi tawar jelata, tetap berada pada ratap yang melata, nyaris tak terdengar para kuasa. Lalu Konoha terjungkal bukan karena dibantai sekutu maupun seteru, melainkan dibunuh secara massal oleh para pengampu dan pemampu yang bertahta di atas palu. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *