Oleh : Mas@be Zain
maduraindepth.com – Seorang sufi dari Persia, menuliskan kisah tentang Khusru-Syirin. Disebutkan, calon sufi hendak berguru, mendatangi ahli tasawuf. Calon sufi itu melamar menjadi santri agar menjadi sufi di bawah asuhan sang guru. Diyakini, sufi adalah salah satu jalan menuju hening, menuju manunggaling kahuripan.
Saat mengutarakan niat, calon santri ini kelabakan karena mendapat pertanyaan yang tidak diduga. Padahal, sang guru hanya memberi pertanyaan yang sederhana, “Pernahkah engkau jatuh cinta?”
Calon santri itu terkesiap. Bagaimana mungkin seorang sufi menanyakan hal yang dianggapnya tidak lazim? Tetapi, ia harus jujur dengan mengakui bahwa dirinya tidak pernah jatuh cinta. Diakui, memandang perempuan saja tidak pernah; apalagi jatuh cinta.
Atas jawaban itulah, sang guru meminta calon santrinya itu pulang, untuk merenungkan kembali tentang hasratnya untuk menjadi sufi. Sebab, salah satu syarat dalam sufi, seseorang harus memiliki cinta. Bila tak ada cinta, hampir pasti tak ada tasawuf, tak ada sufi.
Para sufi, adalah pecinta. Hidup adalah perjalanan melintasi sahara untuk berjumpa kekasih. Relasi dengan rabbaniyah adalah hubungan antara pecinta dengan yang dicinta. Kerinduan kepada kekasih itulah yang membuatnya berpaling dari kemewahan. Mereka berkepentingan untuk memasuki kedalaman misteri dan samudera hati. Keterpisahan pecinta dengan sang kekasih adalah nestapa tak terperi.
Sekedar menyebut contoh, dalam Qais-Laila, digambarkan sebagai kesempurnaan seorang perempuan. Ia bak taman bunga sangat indah. Semerbak pagi adalah dirinya. Sedang Qais adalah lilin yang terbakar pesona. Dia mabuk cinta, tenggelam dalam kerinduan yang menyiksa. Karena itu dia terus mengairi taman cinta di hatinya, agar tidak layu dan mati suri.
Lalu, Laila, ibarat penyihir dengan kerlingan mata. Qais adalah sahaya sekaligus darwisy yang menari-nari. Laila menggenggam anggur dengan wajah tertutup topeng. Qais tidak hanya menyentuh gelas, dia menenggak seluruh anggur hingga mabuk karenanya.
Kaum sufi, pecinta rabb itu, membakar dirinya sendiri serupa lilin yang terkelupas api. Cinta rabb tak hanya memabukkan, tapi juga membuat ketagihan. Satu tegukan anggur keilahian, memberi segala yang ia punya untuk bisa menikmati pada tegukan berikutnya.
Cinta adalah rahasia penciptaan terbesar, sebuah substansi di dalam hati, yang ketika dibangkitkan kerling kekasih, ia mengubah diri dan dunia. Transformasi ini akhirnya sampai pada rahasia penyatuan, bahwa pecinta dan kekasih adalah satu.
Narasi inilah perjalanan cinta yang dilalui sufi. Sebuah pengembaraan berat sebab cinta. Tetapi, adakah yang berat saat dikerjakan dalam cinta? Farhad, dalam kisah Khusru-Syirin, diharuskan membuat terowongan yang menembus batu-batu granit cadas-keras Bukit Bistun untuk bisa menikahi Syirin. Demi cinta, tak ada pekerjaan sulit. Bahkan, Farhad, bersedia memindahkan gunung lainnya jika diharuskan untuk melakukannya.
Sayangnya, presisi cinta itu, hanya ada dalam cerita sufi. Sedang cinta tanah air, cinta sesama dalam wawasan nusantara, berbeda kisah maupun kejadiannya. Cinta hanya menjadi argumen dan legitimasi untuk melakukan yang tidak biasa. Terlalu banyak oknum yang membela tanah air dan melacurkannya.
Tak terhitung untuk dan atas nama cinta pada sesama, ditempuh dengan angkuh; menghancurkan bahkan membunuhnya. Rakyat dan penguasa negeri, berjarak dan terpisah. Dalam bahasa Nagras, tak ada cinta diantara mereka. Cinta yang bertepuk sebelah tangan dan pamrih ini, menenggelamkan sebagian besar cita-cita; sentosa, dan kesejahteraan itu. Rakyat tetap saja marginal dan terpinggirkan. (*)