Sudah 20 Tahun UU Anak Diberlakukan, Diskusi ALIT: Masih Banyak Eksploitasi di Indonesia

Istimewa

maduraindepth.com – Di Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Anak mulai diberlakukan sejak tahun 2002. Setelah 20 tahun berlalu, nyatanya kasus pelanggaran hak anak masih terus marak. Ibarat gunung es, meski banyak yang mulai terungkap, namun akar dan kasus sebenarnya masih menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak.

Hal ini terungkap dalam Talk Show Peringatan Hari Anak Sedunia, Ahad (20/11) lalu di Surabaya yang mengambil tema CHILD PROTECTION NOW. Talk Show yang digagas oleh ALIT Indonesia ini diselenggarakan untuk mengingatkan kembali kepada semua pihak masih banyaknya kasus-kasus kekerasan dan eksploitasi pada anak di Indonesia dan menjadi tantangan dalam penyelesaiannya.

Talk Show menghadirkan pembicara dari berbagai elemen penegak hukum, praktisi hukum, jurnalis dan lembaga independen yang bergerak di ranah perlindungan anak.

Program Manager ALIT Indonesia Rakai Kurmavatara menyampaikan, kondisi anak-anak di desa tidak seperti yang ada di perkotaan. Kurangnya fasilitas dalam tumbuh kembang mereka di pedesaan, melahirkan banyak kisah perkawinan anak, dengan alasan ekonomi.

“Peran pengasuhan orang tua, yang apatis dan menganggap enteng permasalahan anak dan belum memahami undang-undang dan konvensi hak anak, menjadi faktor yang mendorong terus tingginya angka perkawinan anak,” ujarnya.

Senada dengan Rakai, Edward Dewaruci, mengingatkan pada Convention Of The Right Of the Child (CRC) muncul karena kondisi global yang menganggap bahwa manusia itu harus diperlakukan sebagaimana mestinya. Manusia juga harus dimanusiakan sebagaimana manusia.

Kesadaran sebagai manusia masih belum mampu untuk memanusiakan manusia sebagaimana mestinya dan itu masih banyak terjadi tanpa memandang strata social, warna kulit, asal usul. Hal ini lah yang kemudian membuat PBB melalui komisi hak anak membuat konvensi hak anak pada tahun 1989.

“Dan pada tahun 1990, konvensi tersebut diakui oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia,” ucapnya.

Oki Muji Astuti, SH, jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara anak yang berhadapan dengan hukum dan IPDA Triwulandari, Kasubnit 6 PPA Polrestabes Surabaya hadir dalam Talk Show. Dia memberikan penjelasan tentang kaidah perlindungan anak dalam ranah hukum.

Ketua Savy Amira, Endah Triwijati menanggapi terkait psikologi anak yang berada di situasi kekerasan. Penyelesaian secara hukum tidak memberikan jaminan tuntasnya trauma korban.

Tiwi mengingatkan kembali bagaimana korban pelecehan dan kekerasan terdampak tidak hanya secara psikologi dan fisik. Namun juga posisi sosialnya di hadapan masyarakat.

“Kita hidup di situasi yang terbiasa untuk lebih mementingkan omongan orang, yang kemudian ini berdampak pada sulitnya bagi kita, terutama korban, untuk menyuarakan pendapatnya meskipun itu sebuah kebenaran. Apalagi jika hal itu berbeda dengan yang dianggap ‘normal’ bagi masyarakat,” tandasnya.

Menurut Tiwi, hal yang sangat penting untuk dilakukan ketika mendampingi anak-anak yang menjadi korban situasi ini adalah dengan fokus pada keberhargaan diri. Bisa dari memperhatikan hal-hal kecil yang dia lakukan.

Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Surabaya, Eben Haezer menilai, dalam situasi dimana kurangnya literasi masyarakat maka jurnalis juga memiliki peran untuk melakukan advokasi untuk menjaga agar kasus-kasus tersebut tak padam ditelan oleh pemberitaan yang lain. Eben menghimbau pentingnya peran citizen jurnalistik sebagai corong media atas informasi yang terus diberikan kepada masyarakat tentang kasus-kasus yang terjadi dan belum mendapatkan perhatian.

Di sisi lain, pemberitaan kasus kekerasan dan eksploitasi anak juga mensyaratkan seorang jurnalis memberikan pemberitaan yang sesuai dengan kode etik. “Sehingga tidak menambah beban dan tetap melindungi korban,” ujarnya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *