Oleh: MH Said Abdullah*
maduraindepth.com – Semua orang mengetahui Bung Karno disiplin berpenampilan rapi, necis, sebanding dengan fisiknya yang rupawan. Bung Karno juga penyuka berbagai karya seni: lukisan, patung, dan berbagai koleksi benda seni lainnya yang tak ternilai harganya. Di hari terakhir beliau dipaksa meninggalkan Istana Bogor pada tahun 1967, tidak ada benda benda itu dilucuti dari dinding dan ruangan istana meskipun sebagian darinya properti pribadi Bung Karno.
Dengan tubuhnya yang lemah karena sakit, ia hanya meraih sang saka merah putih yang dijahit oleh Ibu Fatmawati untuk dibawanya ke Wisma Yaso. Bung Karno juga berpesan kepada anak anaknya, agar tidak membawa satupun benda benda milik negara. Disaat dijatuhkan dari puncak kekuasaannya, Soekarno tetap memikirkan bangsa dan negaranya. Tawaran dari KKO untuk melawan balik Soeharto tidak membuat Bung Karno tergoda. Pikirannya malah dihantui perang saudara atas negara yang ia proklamirkan bersama Bung Hatta jika ia berburu kuasa, dan menerima permintaan KKO.
Cintanya kepada bangsa dan negaranya telah melampaui pernak-pernik kemewahan duniawi. Sikap seperti ini hanya bisa dijalani oleh jiwa jiwa yang matang, yang mewakafkan sepanjang hayatnya untuk pertiwi. Tujuh kali pengasingan, bertahun tahun pemenjaraan, berulangkali menghadapi percobaan pembunuhan telah menempa jiwa Bung Karno. Pada dirinya bukan sekedar kata kata, dirinya adalah manisfestasi senyatanya dari jiwa yang nasionalistis.
Tentu bukan hanya Bung Karno yang telah selesai dengan hasrat personalnya. Tokoh tokoh seangkatan Soekarno bila kita simak kisahnya menghadirkan mata air keteladanan tak terkira. Bung Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, dan tokoh tokoh lainnya bisa menjadi inspirasi kita dimasa kini dan masa depan.
Teman sejawat Soekarno lainnya, Haji Agus Salim seorang diplomat yang ulung. Kemahirannya berdiplomasi membuatnya malang melintang sebagai Menteri Luar Negeri. Jauh dari gaya diplomat kekinian yang perlente, dan hidup mewah. Kedudukannya sebagai Menteri Luar Negeri tidak serta merta hidupnya berubah. Ia tetap hidup sebagai pengontrak, dan pidah pindah kontrakan rumah disekitar Tanah Abang, Karet, Petamburan. Bahkan hingga akhir hayatnya pada tahun 1954, sang diplomat ulung pecinta rokok ini masih hidup dalam rumah kontrakan.
Di balik serba kesederhanaan hidupnya, Haji Agus Salim seorang periang, dan humoris. Ia menaruh sebagian besar hidupnya sebagai benteng diplomasi republik, untuk mempertahankan daulat kemerdekaan. Ditengah Agresi Militer I oleh Belanda, H Agus Salim bergerak cepat menggalang dukungan pengakuan kemerdekaan sepenuhnya dari negara negara Timur Tengah, Kepiawaiannya berbahasa Arab, dan wawasan keislamannya yang mengesankan, hasil lawatannya membuahkan pengakuan kemerdekaan Indonesia seratus persen dari Suriah, Libanon dan Mesir.
Karena siasat diplomasi yang cerdik H Agus Salim dan Sutan Sjahrir, keduanya mengetahui, saat itu Amerika Serikat sedang jengkel terhadap Belanda, karena bantuan anggaran Marshall Plan untuk membangun Eropa paska perang dunia kedua, justru dipakai oleh Belanda melancarkan agresi militer. Melalui tangan Amerika Serikat, dibentuklah Komisi Jasa Baik yang memaksa Belanda menghentikan agresi militer dan duduk di meja perundingan.
Berlaksa-laksa hikayat bisa kita tengok dari kisah kisah pendahulu kita. Dari mereka kita mendapati sesuatu yang dalam hitungan matematik tidak mungkin, namun kemungkinan yang hamper mustahil itu menjadi kenyataan. Sulit membayangkan, ditengah tidak kesepadanan kekuatan, diatas kertas, sangat tidak mungkin Indonesia berpeluang merdeka, nyatanya kemerdekaan itu bisa direbut.
Sulit pula membayangkan, bangsa yang masih dirundung kemiskinan dan kebodohan akibat belenggu kolonialisme 3,5 abad Belanda ditambah 3,5 tahun oleh Jepang, anak anak bangsanya bisa melahirkan konsep negara modern bernama Indonesia. Debat debat di BPUPKI sangat menunjukkan anak anak bangsa sangat berkelas dalam khasanah filsafat, politik dan ketatangeraan. Lahirlah Pancasila, dan UUD 1945 yang merepresentasikan filsafat jiwa bangsa sebagai ideologi negara, dan tata negara modern, melampuai kelas negara negara modern yang lebih dulu merdeka berabad abad lalu.
Di tengah terseok-seoknya republik atas jatuh bangunnya kabinet, ditambah berbagai pemberontakan bersenjata didalam negeri, Indonesia mencatatkan penyelenggaraan pemilu paling demokratis di bumi belahan selatan pada tahun 1955. Siapa yang bisa menyangka, diantara negara negara di Asia dan Afrika yang baru seumur jagung menyatakan kemerdekaan, dalam sekejap atas kepeloporan Soekarno bersama para delegasi, Ali Sastroamijoyo (Indonesia), Sir Jhon Kotelawala (Srilanka), Muhammad Ali (Pakistan), Jawaharlal Nehru (India) dan U Nu (Burma/Myanmar) terbentuk poros politik baru, bangsa Asia Afrika yang berkeinginan membentuk kekuatan dunia baru (Newly Emerging Forces/ NEFOS).
Kini, berbagai kemajuan baru bisa kita gapai. Jalan terjal pandemi bisa kita lampaui, sehingga kita bisa pulih lebih cepat, dan bangkit lebih kuat. Kita syukuri sebagian indikator sosial-ekonomi telah kembali seperti sebelum pandemi. Pencapaian ini tentu karena kita merawat modal sosial, yakni gotong royong sebagai jiwa bangsa.
Namun situasi ketidakmenentuan belum berhenti, kita dan bangsa bangsa di seluruh dunia dihadapkan persoalan baru, yakni stagflasi, imbas respon kebijakan berbagai negara maju atas Perang Rusia dan Ukraina. Indonesia cukup diuntungkan karena tidak sepenuhnya ekonominya bergantung pada situasi eksternal, seperti halnya Singapura. Sehingga menurunnya ekonomi global, imbasnya tidak cukup meluas menekan ekonomi domestik.
Meskipun begitu, pintu masuk krisis terhadap ekonomi domestik masih sangat mungkin melalui pintu depresiasi kurs, kenaikan suku bunga serta impor pangan dan energi. Ada dua hal yang kita butuhkan menghadapi situasi ini. Pertama respon kebijakan teknokrasi yang memang dibutuhkan sebagai kerangka mitigasi. Hal kedua yang juga penting adalah kesatupaduan kita sebagai bangsa, tidak mudah centang perenang, mengais kesempatan untuk peluang keuntungan politik, dan ekonomi. Kompak, dalam barisan yang produktif.
Kita memanggil anak anak bangsa, dan diterangi cahaya cinta kepada bangsanya, yang bersungguh sungguh mewakafkan tenaga dan pikirannya pada republik untuk menghadapi situasi yang ada. Penting kiranya kita memaknai konsep cinta dari Plato, atau dikenal konsep cinta platonik, cinta bukanlah tujuan akhir, cinta hanya sarana untuk mencapai keindahan tertinggi, cinta menjadi jembatan yang menghubungkan realitas yang terkadang compang camping, dengan idealitas sebagai muara akhir.
Akan tetapi terkadang cinta bisa tercemar karena pamrih. Oleh sebab itu, Sufis Jalaludin Rumi mengingatkan kita agar bisa melepaskan cinta kita dari pamrih. Hanya dengan menyandarkan cinta kepada Sang Maha Cinta, yang menciptakan jagad raya inilah sepirit cinta kita menjadi altruis. Dengan bekal inilah kita bisa merawat cinta di ubun ubun nusantara kini, sekaligus bekal menghadapi segala masa kedepan. (*)
* Penulis merupakan Ketua Badan Anggaran DPR RI