Oleh : Mas@be Zain
maduraindepth.com – Pernah ingin memelihara anjing. Sederhana saja idenya agar ketika hendak marah, atau misuh, cukup dilampiaskan kepada hewan piaraan ini, bukan kepada yang lain. Sesederhana itu gagasan memelihara binatang yang memiliki daya endus luar biasa ini.
Tetapi, rencana memelihara hewan ini gagal sebab masyarakat sekitar memberi tafsir yang jauh lebih rumit, bahkan menilai sesat. Anjing bagi mereka najis dan tidak seharusnya dipelihara di rumah warga dimana warga sekelilingnya menolak kehadiran anjing. Masalahnya, tidak terejawantahkan dengan baik, apakah yang mereka tolak anjingnya, atau sesuatu yang lain di luar konstruk anjing. Intinya, mereka menolak, sesimpel itu.
Ideologi “pokoknya” ini, seringkali bertebar di sekeliling kehidupan. Keangkuhan yang berpijak pada ambigu menjadi panglima. Kebersetujuan atau ketidak sepakatan atas sesuatu tidak lagi dadasari oleh argument. Melainkan, ia lahir karena sentiment. Bagaimana akan berbicara toleransi dengan baik, apabila landasan berpikir dibangun berdasar suka, atau tidak suka.
Inilah budaya tang tercerabut dari akar nusantara dimana banyak orang menganggap dirinya sebagai hukum tertinggi. Musyawarah dianggap hanya dianggap teks dan termaktub di dalam Pancasila namun tidak dijadikan pandangan hidup dalam alam nyata. Lho, ini nusantara, bukan Somalia dimana perompak dianggap sebagai profesi.
Di sebuah negeri yang dijamin oleh undang-undang, orang-orang boleh memiliki gagasan, ide dan cara pandang, angle.
Pokok pikiran tidak bisa diadili di depan hukum, kecuali oleh pengetahuan itu sendiri sebagai bagian dari cara berpikir secara akademik. Perbedaan adalah hal yang wajar dan berbeda pandangan satu bentuk keniscayaan. Ini negara demokrasi bukan fasisme. Kesimpulan bisa saja tidak sama tetapi ia bisa menjadi kebenaran scientific sepanjang teori yang digunakan benar.
Pada hasil kali bilangan 4 x 6 = 24, semua orang mengangguk karena kebenaran yang terjadi di zonasi matematik. Tetapi, jangan kaget ketika di tempat yang berbeda ditemukan 4 x 6 = 3000. Ketika seorang calon mahasiswa baru mendatangi tukang cuci cetak foto lalu bertanya 4 x 6 = berapa, ia menerima saja Ketika tukang cuci cetak foto itu menjawab 4 x 6 = 3000. Begitulah hidup, sesederhana itu sebenarnya walaupun masih tergantung kepada bagaimana cara memandang substansi pokok persoalan.
Realitas hidup saat ini, tidak ubahnya seperti seorang penulis pemula yang mengangkat tema sederhana tetapi dibangun dengan narasi yang amat sulit dimengerti. Padahal, konsep hidup sejatinya adalah anda untung, rakyat untung, bukan anda untung sementara rakyat buntung. Substansi demokrasi sejatinya sesederhana itu, walaupun narasi berdemokrasi sedemikian sulit dirajut.
Tidakkah sebagian besar penduduk tanah ini sadar bahwa negara sedang tidak baik-baik saja dengan masa depannya? Sebutlah soal masa depan ekonomi yang seharusnya berdaulat dimana warga negara berdiri di kakinya sendiri. Bila dilihat secara kasat mata, siapakah yang mengatur (baca menguasai) perputaran ekonomi? Siapakah yang berkuasa atas laut, darat dan udara berikut sesuatu yang terkandung di dalamnya?
Ini fakta yang jika terbiarkan berlangsung secara terus-menerus, maka tak ada lagi nusantara karena berada dalam penguasaan pihak lain. Lihatlah, pelan tapi pasti, di sejumlah daerah dan sentra industri dari yang paling kecil hingga yang paling besar, dari hulu hingga hilir, siapakah yang berdaulat di sana?
Pemilik kuasa di negeri ini seakan-akan hanya pion yang digerakkan pemain besar yang berlaga di catur kehidupan. Paradoksnya, sejumlah orang yang merasa dirinya besar, menikmati situasi ini dengan seksama untuk keuntungan diri dan kelompoknya dengan hasil yang sebesar-besarnya. Ini bukan hanya sebentuk mimpi buruk, tetapi petaka bagi bangsa berikut generasi di dalamnya yang mengalami ketergantungan bukan kepada bapak bangsanya sendiri, tetapi bergelayut kepada bapak tiri pemodal besar, yang berlindung di balik kuasa-negara.
Maka jika anak bangsa hari ini menjadi durhaka dalam rumah bangsa, boleh jadi sebab mereka mengerti prilaku bapak bangsanya sendiri yang mengayuh negeri dengan kaki, bukan dengan hati. (*)