maduraindepth.com – Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, kembali diguncang gempa bumi pada Senin (13/10/2025) siang. Namun, menurut catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), fenomena ini bukan hal baru. Aktivitas gempa di kawasan tersebut telah terjadi sejak ratusan tahun lalu akibat adanya sesar aktif di perairan sekitar.
Dikutip dari mediapribumi.id, Kepala BMKG Stasiun Meteorologi Trunojoyo Sumenep, Ari Widjajanto, menjelaskan bahwa kondisi geologi di sekitar Pulau Sapudi memang rawan terhadap aktivitas seismik. Selain karena keberadaan sesar aktif, lapisan batuan di wilayah itu tergolong mudah menyerap dan melepaskan energi gempa.
“Masyarakat perlu meningkatkan kesadaran terhadap potensi gempa yang bisa terjadi kapan saja, dan penting melakukan asesmen mandiri untuk mitigasi di lingkungan masing-masing,” ujar Ari, Rabu (15/10/2025).
Ia menambahkan, setiap kali terjadi gempa bumi, BMKG akan langsung menganalisis kekuatan dan potensi tsunami. Setelah itu dilakukan validasi ulang untuk memastikan hasil identifikasi awal.
“Potensi tsunami menjadi prioritas utama kami. Namun untuk gempa terakhir, meskipun terjadi di bawah laut, hasil analisis menunjukkan tidak berpotensi tsunami,” imbuhnya.
Mitigasi dan Kesadaran Kolektif
BMKG mengimbau masyarakat di Pulau Sapudi agar lebih tanggap terhadap tanda-tanda alam, seperti air laut yang tiba-tiba surut signifikan. Kondisi tersebut dapat menjadi indikasi adanya ancaman tsunami, sehingga warga perlu segera menyelamatkan diri dan mengingatkan yang lain.
Selain itu, Ari juga menekankan pentingnya membangun kesadaran kolektif di tingkat masyarakat untuk mengurangi risiko bencana melalui langkah-langkah mitigasi sederhana, mulai dari memperkuat bangunan rumah hingga menyiapkan jalur evakuasi.
Kajian Geologi: Zona Sesar RMKS
Penelitian yang dilakukan oleh Ratri Andinisari dkk. dari Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, dan dimuat dalam Jurnal Infomanpro Vol. 13 No. 1 Tahun 2024, menyebutkan bahwa wilayah Sumenep berada di atas zona sesar Rembang–Madura–Kangean–Sakala (RMKS Fault Zone).
Zona ini merupakan patahan aktif yang membentang dari utara Pulau Jawa hingga Kangean, dan tergolong kompleks karena menjadi batas antara dua area geologi besar di Pulau Madura.
Meskipun tingkat seismisitas di Sumenep tergolong rendah, sejarah mencatat beberapa gempa dengan kekuatan sedang hingga besar pernah terjadi, seperti pada 26 April 2018 (Mw 5,3) dan 2 April 2019 (Mw 4,9). Analisis Peak Ground Acceleration (PGA) menunjukkan nilai antara 0,1999–0,2083 g, dengan wilayah tertinggi di perbatasan Sumenep–Pamekasan, Pulau Sapudi, dan Raas.
Rekaman Sejarah Gempa di Madura
Catatan kolonial Hindia Belanda juga menunjukkan bahwa wilayah Madura, terutama Sumenep dan pulau-pulau sekitarnya, telah berkali-kali diguncang gempa sejak abad ke-18.
Surat kabar seperti Java-bode, Soerabaijasch Handelsblad, dan De Locomotief mencatat gempa yang terjadi pada tahun 1863, 1881, 1883, 1891, 1895, 1896, 1904, 1935, dan 1936.
Dalam periode modern, pencatatan gempa menjadi lebih sistematis oleh BMKG. Gempa besar terakhir sebelum 2025 terjadi pada 11 Oktober 2018 di Pulau Sapudi dengan magnitudo 6,4, menyebabkan tiga korban meninggal dunia dan 210 rumah rusak. Disusul gempa 2 Maret 2019 (M 5,0) yang kembali mengguncang Sumenep.
Teranyar, gempa bermagnitudo 5,0 kembali dirasakan pada Senin (13/10/2025) pukul 14.10 WIB, setelah sebelumnya terjadi gempa dengan magnitudo 4,1 pada Rabu (8/10/2025).














