Tradisi ‘Ngoras Somber’ Peninggalan Bhuju’ Napo

Ngoras somber desa napo
Warga Desa Napo, Kecamatan Omben Sampang saat 'ngoras somber' Jumat (2/10) lalu. (Foto: RIF/MI)

maduraindepth.com – Setiap bulan Shafar warga Desa Napo, Kecamatan Omben, Sampang memiliki tradisi ‘ngoras somber’ atau menguras sumber. Tradisi yang dilakukan setiap bulan kedua kalender hijriyah ini dilakukan secara turun temurun.

Tradisi ngoras somber tersebut berkaitan erat dengan sejarah Raden Abdul Jabbar atau lebih dikenal dengan Bhuju’ Napo. Istilah bhuju’ di Madura memiliki makna buyut atau sesepuh zaman dulu yang semasa hidupnya memiliki banyak jasa.

Bhuju’ ini biasanya memiliki kelebihan dan merupakan tokoh yang sangat dihormati oleh masyarakat. Bhuju’ oleh masyarakat dianggap sangat berjasa bagi perkembangan dan kemajuan wilayah di desa setempat. Terutama dalam mensyiarkan agama Islam.

Sehingga sampai saat ini, tidak heran jika makbaroh atau pemakaman para bhuju’ banyak diziarahi oleh masyarakat. Termasuk peninggalannya tetap dirawat dan dilestarikan.

Seperti salah satu peninggalan Bhuju’ Napo ini yang berupa sumber mata air. Peninggalannya tersebut oleh masyarakat tetap dirawat hingga kini.

Tak heran jika tiap tahun, tepatnya pada bulan Shafar masyarakat setempat melakukan tradisi ‘Ngoras Somber’. Apalagi sumber air yang dikuras oleh warga merupakan peninggalan Bhuju’ Napo yang hingga kini manfaatnya masih bisa dinikmati masyarakat setempat.

Bekas Tongkat yang Ditancapkan Bhuju’ Napo Keluar Sumber Air

Kala itu, semasa hidupnya Raden Abdul Jabbar, Desa Napo mengalami kekeringan. Masyarakat setempat kesulitan mendapatkan air bersih.

Baca juga:  Kerapan Sapi Piala Panglima TNI Pertemukan 48 Peserta

Dalam suasana kekeringan tersebut, Bhuju’ Napo menancapkan tongkatnya di atas tanah dimana dia berpijak. Sontak saja, bekas tongkat yang ditancapkan itu mengeluarkan sumber mata air.

Hingga kini sumber tersebut manfaatnya bisa dirasakan oleh masyarakat. Untuk melestarikan peninggalan Bhuju’ Napo itu, setiap Jumat manis bulan Shafar sumur tersebut dikuras dan dibersihkan.

Tradisi tersebut oleh masyarakat dikenal dengan nama ‘Ngoras Somber’. Hal tersebut disampaikan oleh keturunan ke 12 Bhuju’ Napo Abdul Basit.

Pertahankan Sejarah Bhuju’ Napo

Bhuju' Napo
Pintu masuk menuju astah Bhuju’ Napo. (Foto: MH/MI)

Bertepatan pada Jumat, 2 Oktober 2020 masyarakat desa Napo menggelar tradisi ‘ngoras somber’. Masyarakat secara gotong royong berbondong-bendong membawa alat seperti cangkul dan lain-lain menuju lokasi sejarah peninggalan Bhuju’ Napo. Mereka terlihat kompak menguras dan membersihkan sumber mata air.

Kepala Desa (Kades) Napo yang juga generasi ke 12 Bhuju’ Napo Abdul Basit menyampaikan, bahwa tradisi ‘ngoras somber’ yang dilakukan bersama warga setempat merupakan salah satu upaya merawat peninggalan sejarah. Dia mengkonfirmasi, bahwa tradisi tersebut dilakukan secara turun temurun setiap tahun.

Antusiasme warga, lanjut Abdul Basit, merupakan salah satu bukti bahwa masyarakat Desa Napo masih peduli melestarikan tradisi dan budaya lokal. “Kegiatan ini merupakan acara tahunan yang kami laksanakan secara turun temurun, acara ini dilaksanakan setiap bulan Oktober bertepatan dengan bulan Shafar Jumat manis,” tuturnya pada maduraindepth.com, saat ngoras somber berlangsung, Jumat (2/10).

Baca juga:  Rumah Komunitas Membaca Siap Tingkatkan Budaya Literasi Anak Muda Desa

Abdul Basit menjelaskan, sebelum tradisi ngoras somber dilakukan, ada beberapa rangkaian ritual yang harus dilaksanakan terlebih dahulu. Seperti Macopat dan mengkhatamkan bacaan Al Qur’an di Pesarean Bhuju’ Napo. Selanjutnya mereka memulai membersihkan sumber dan sepanjang saluran air hingga tuntas.

“Untuk mempertahankan sejarah itu, maka kita rutin setiap tahun melakukan tradisi ini, sekaligus mengenang jasa beliau semasa hidupnya,” terang Abdul Basit.

Di tempat yang sama, Plt. Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata (Disporabudpar) Imam Sanusi berharap tradisi yang ada di Desa Napo menjadi sebuah pengembangan wisata. Menurutnya, Desa Napo sangat berpotensi menjadi salah satu destinasi wisata yang memiliki pengembangan meliputi tiga desa.

“Diantaranya Desa Karang Nagger, Desa Napo Daya dan Napo Laok,” ucapnya.

Diharapkan ketiga desa tersebut bisa bersinergi dalam mengembangkan destinasi wisata. Bahkan pihaknya juga berjanji akan membangun museum yang di dalamnya terdapat benda-benda pusaka peninggalan.

“Tapi karena anggaran terbatas, maka kami akan beri nama galeri,” tandasnya. (RIF/MH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner auto