Anomali Rasa di Semesta Kuasa

Resonansi
Mas@be Zain
Oleh : Mas@be Zain

maduraindepth.com – Waktu itu tahun 1995. Di Jogjakarta, Abdurahman Wahid (Gus Dur) dalam sebuah perbincangan informal, menjabarkan resep tentang menjadi warga negara yang baik. Disebutkan, menjadi warga dari sebuah bangsa yang baik dan menopang terciptanya kondusivitas bangsa, apabila setiap warga menjaga rumah tangganya masing-masing.

Dia berasumsi, saat mana keluarga yang baik keluar dari rumahnya, dia terbiasa menciptakan kebaikan di tengah keluarga yang lain, sampai pada keluarga besar masyarakat Indonesia. Sebaliknya, apabila anggota keluarga tidak baik di tengah rumah tangganya, dia berpotensi membuat ketidakbaikan pada keluarga yang lain, sampai pada keluarga di atasnya, Indonesia.

Dalam banyak kasus yang kemudian bermasalah, apa yang disampaikan Gus Dur memiliki kebenaran. Bahkan, untuk kasus pembunuhan terhadap anggota keluarga, ini semakin menegaskan bahwa di dalam keluarga itu bermasalah. Maka ketika pembunuh terhadap keluarganya sendiri keluar dari rumahnya, ada kemungkinan ia membunuh anggota keluarga yang lain.

Hilangnya kedamaian demi kedamaian itu ketika ditelisik, bersamaan dengan raibnya kasih dan rasa cinta. Ia tidak selesai dengan dirinya sendiri yang memiliki halusinasi atau persepsi yang dianggapnya baik, bagi dirinya. Karena itu, ia melakukan apa yang dia personifikasikan perihal sesuatu yang dianggapnya indah. Walaupun, setelah dieksekusi, menabrak akal sehat dan tidak simplikatif. Ia kemudian tidak saja merugikan dirinya, tetapi tidak menguntungkan bagi pihak lain. Maka dari itu, para pihak butuh mengembalikan kasih dan rasa cinta, yang digergaji oleh pemiliknya sendiri.

Baca juga:  Santo Merto, "Raja Bayangan" yang Nyaris Terlupakan

Jose Mujica, mantan Presiden Uruguay, memiliki pribadi yang unik. Ia dilabeli sebagai presiden paling miskin di dunia! Gelar miskin ini tidak membuat rakyatnya kehilangan respek. Mereka justru bangga dan cinta sebab Mujica sangat peduli terhadap kesejahteraan rakyatnya. Gajinya sebesar kurang lebih Rp 119 juta tiap bulan cuma diambil Rp 11 juta. Sisanya dia sumbangkan demi kesejahteraan rakyat miskin di Uruguay. Bahkan, Mujica juga tinggal dalam sebuah rumah sederhana di tengah ladang dan cuma memiliki sebuah mobil Volkswagen tua sebagai kendaraan pribadi.

Begitu pula, Hugo Chaves (Venezuela). Ia dikenal dengan panggilan El Comandante, memiliki sistem pemerintahan dan kebijakan pro-rakyat. Ia meningkatkan anggaran pendidikan, kesehatan, sampai mengurangi tingkat kemiskinan secara revolusioner. Chaves juga terkenal berani bersuara hingga mengejutkan dunia ketika terang-terangan menyebut Presiden Amerika (di era itu George W. Bush) sebagai setan saat ia pidato sidang PBB. Keberanian itulah yang membuat Chaves kian dicintai rakyatnya. Saat wafat karena kanker (2005), jalanan di Venezuela jadi mengaurakan kesedihan dan duka selama berhari-hari.

Sosok lainnya, Mahmoud Ahmadinejad, Presiden Iran Ketika itu. Ia dibenci politisi Barat, tetapi dicintai rakyat karena kesederhanaannya. Sosok humble ini menjabat pada 2005 ini mengawali karir sebagai walikota (Teheran). Saat walikota, ia menolak tinggal di rumah dinas, melainkan di sebuah rumah, di tengah pemukiman warga agar bisa dekat dengan masyarakat. Sifat yang konservatif dan lekat dengan nilai-nilai agama, komentar tajam Ahmadinejad menyebabkan dibenci politikus dunia Barat. Tetapi, di mata warga, ia dinilai berhasil menjadi presiden. Selain itu, ia menyumbangkan seluruh karpet istana yang super mahal untuk masjid di seluruh negeri. Sementara, karpet istana diganti dengan karpet yang jauh lebih murah.

Baca juga:  Grebek Tajin Sorah

Kisah lain pemimpin yang dianggap penuh cinta-kasih, Mark Rutte (Belanda). Ia dikenal bijaksana dan punya rasa simpatik tinggi. Di mata media dan rakyat, Rutte merupakan sosok yang dekat dan mudah ditemui. Ia mendekonstruksi eksklusivitas, walaupun dibesarkan dalam keluarga yang memiliki ekonomi sangat mapan. Ia juga dikenal berjiwa ksatria dan berani mengakui kesalahan. Sebagai representasi negeri Belanda (2013), ia memohon maaf kepada Pemerintah Republik Indonesia dan memberikan santunan kepada para korban yang dijajah dan dibunuh. Aksi ksatria dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab.

Masuk ke negeri sendiri, serasa harus memunculkan kembali Soekarno, Aku Melihat Indonesia: “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri”.

Hari ini terbukti, ada pejabat negara yang bertindak sebagai penjahat negara. Ada pelindung dan pengayom masyarakat, justru menjadi penendang dan penyamun di masyarakat. Ada yang semestinya menjadi pendayagunaan aparatur menjadi penyalahgunaan aparatur. Memang tidak ada yang sempurna, namun seharusnya tidak begitu (menindas, memeras atau merampas).

Semua penyebab dimana pihak tidak bertindak sebagaimana pihaknya, saat ditelisik, bermuara pada tercerabutnya jati diri dari cinta kasih, baik atas nama cinta tanah air, sesama, maupun peduli terhadap lingkungannya. Sebagai aparatur pada semua jenjang, tidak seharusnya melukai rakyat atas nama kekuasaan, atau kebuasan? Sebab, semua itu menorehkan luka dari kuasa dan penyelenggara negara, terhadap rakyat, pemilik sah kedaulatan republik ini. Bukankah penguasa mengetahui bahwa tak ada luka yang lebih sederhana dibanding tikaman belati dari sesama anak bangsa? (*)

  • Baca Tulisan Menarik Lainnya dari Mas@be Zain di Sini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

banner auto